Material organik yang terkumpul pada digester (reaktor) akan diuraia menjadi dua tahap, dengan bantuan dua jenis bakteri. Tahap pertama, material organik akan didegradasi menjadi asam-asam lemah, dengan bantuan bakteri pembentuk asam.
Setelah material organik berubah menjadi asam, maka tahap kedua dari proses anaerobic digestion adalah pembentukan gas metana dengan bantuan bakteri pembentuk metana seperti Methanococus, Methanosarcina, dan Methano bacterium.
Proses anaerobic digestion berhasil diaplikasikan dalam berbagai bidang. Proses ini memiliki kemampuan mengolah sampah menjadi produk yang lebih bernilai. Anaerobic digestion berhasil diterapkan untuk pengolahan sampah industri, sampah pertanian, sampah peternakan, dan municipal solid waste (MSW).
Sampah makanan di pedesaan, seperti sisa nasi, lauk pauk dan bahan organik lainnya, terkadang masih bermanfaat untuk makanan ternak. Hal berbeda terjadi di perkotaan. Sampah ini hampir semuanya tidak berguna.
Apalagi ditambah sisa makanan dari warung, restoran, atau makanan siap saji yang banyak berdiri di perkotaan. Akibatnya sampah makin melimpah. Permasalahan lain yang menghinggapi adalah berkaitan dengan bahaya kesehatan jika tertumpuk secara terbuka. Berbagai serangga dan binatang pengerat dapat menimbulkan penyakit yang menular.
Solusi yang dikembangkan saat ini adalah membawa sampah organik menjadi bahan bakar yang bersih berupa gas hasil dari proses anaerobik seperti di atas. Konsepnya mirip dengan sistem biogas konvensional, yaitu mengumpulkan sampah makanan ke dalam sebuah digester, atau ruangan tertutup tanpa tersentuh oksigen sama sekali.
Bakteri anaerob akan mengurai sampah dan terjadilah proses metagenosis sehingga mengkonversi menjadi gas methane (CH4). Teknologi sederhana ini selain menjadi solusi untuk sampah perkotaan, terutama sisa makanan, juga menjadi sumber energi biogas untuk mengurangi ketergantungan terhadap bahan bakar fosil yang digunakan untuk memasak bagi masyarakat perkotaan.
Sejarah penemuan proses anaerobik digestion untuk menghasilkan biogas tersebar di benua Eropa. Penemuan ilmuwan Volta terhadap gas yang dikeluarkan di rawa-rawa terjadi pada tahun 1770, beberapa dekade kemudian, Avogadro mengidentifikasikan tentang gas metana. Setelah tahun 1875 dipastikan bahwa biogas merupakan produk dari proses anaerobik digestion. Tahun 1884 Pasteour melakukan penelitian tentang biogas menggunakan kotoran hewan. Era penelitian Pasteour menjadi landasan untuk penelitian biogas hingga saat ini.Biogas sebagian besar mengandung gs metana (CH4) dan karbon dioksida (CO2), dan beberapa kandungan yang jumlahnya kecil diantaranya hydrogen sulfida (H2S) dan ammonia (NH3) serta hydrogen dan (H2), nitrogen yang kandungannya sangat kecil.
Energi yang terkandung dalam biogas tergantung dari konsentrasi metana (CH4). Semakin tinggi kandungan metana maka semakin besar kandungan energi (nilai kalor) pada biogas, dan sebaliknya semakin kecil kandungan metana semakin kecil nilai kalor. Kualitas biogas dapat ditingkatkan dengan memperlakukan beberapa parameter yaitu : Menghilangkan hidrogen sulphur, kandungan air dan karbon dioksida (CO2). Hidrogen sulphur mengandung racun dan zat yang menyebabkan korosi, bila biogas mengandung senyawa ini maka akan menyebabkan gas yang berbahaya sehingga konsentrasi yang di ijinkan maksimal 5 ppm. Bila gas dibakar maka hidrogen sulphur akan lebih berbahaya karena akan membentuk senyawa baru bersama-sama oksigen, yaitu sulphur dioksida /sulphur trioksida (SO2 / SO3). senyawa ini lebih beracun. Pada saat yang sama akan membentuk Sulphur acid (H2SO3) suatu senyawa yang lebih korosif. Parameter yang kedua adalah menghilangkan kandungan karbon dioksida yang memiliki tujuan untuk meningkatkan kualitas, sehingga gas dapat digunakan untuk bahan bakar kendaraan. Kandungan air dalam biogas akan menurunkan titik penyalaan biogas serta dapat menimbukan korosif
Berbicara energi, maka tidak dapat dilepaskan dari biaya yang harus dikeluarkan dalam mengkonsumsi energi tersebut. Penggunaan energi apapun akan dibandingkan dengan biaya penggunaan energi fosil. Saat ini pemberian kompor dan tabung gas gratis kepada masyarakat memberikan biaya awal yang nol atau tidak ada.Ini berbeda dengan biaya yang mesti dikeluarkan untuk membangun sistem biogas perkotaan. Menurut Appropriate Rural Technology Institute (ARTI), biaya awal yang harus disediakan untuk membangun konsep ini di India sebesar 100 dolar AS (sekitar Rp 1 juta).
Asumsi ini nampaknya juga berlaku di Indonesia. Jadi, sangat jelas membangun sitem biogas perkotaan lebih mahal apabila langsung menggunakan bahan bakar gas yang diberikan gratis oleh pemerintah.
Berbeda dengan biaya awal, maka biaya operasional justru merupakan biaya rutin yang harus dikeluarkan selama pemakaian sistem. Biaya operasional kompor gas untuk rumah tangga sederhana diperkirakan Rp 50 ribu/bulan. Sementara sistem biogas perkotaan tak memerlukan biaya sama sekali, sehingga kurang dua tahun biaya operasional ini akan mencapai biaya awal dari pembangunan sistem biogas.
Pembanguna sistem ini dapat dikelola dengan baik dengan mengumpulkan beberapa rumah tangga menjadi satu sistem dengan pemakaian bersama, seperti pada rumah susun atau perumahan. Sehingga pemakaian biogas perkotaan menjadi lebih efektif dan efisien.
Dukungan pemerintah juga sangat diperlukan, dengan memberikan insentif khusus sehingga dapat meningkatkan penggunaan energi terbaharukan yang lebih murah, bersih, ramah lingkungan, serta mengurangi permasahan sampah di perkotaan.